TUGAS
MIKROBIOLOGI PANGAN
FOODBORNE DISEASE
Salmonella enteritidis
KELOMPOK :
Santi Mayasari 22030110120039
Nimas Prabaningrum 22030110120040
Nurlina Mayasari 22030110120041
PROGRAM
STUDI ILMU GIZI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Makanan memegang peranan
penting bagi kelangsungan hidup manusia karena makanan adalah sumber energi
utama bagi manusia. Tanpa makanan manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan
energinya yang digunakan untuk melakukan aktivitasnya sehari – hari. Jumlah
penduduk semakin lama semakin padat, hal ini akan berpengaruh kepada berbagai
sektor kehidupan, tidak terkecuali kebutuhan akan pangan. Dengan meningkatnya
jumlah penduduk, maka akan semakin meningkatkan kebutuhan akan makanan yang
tidak hanya sehat, melainkan makanan yang bergizi dan juga aman untuk
dikonsumsi.
Namun, pada kenyataannya
belum semua penduduk dapat menikmati makanan yang aman untuk dikonsumsi. Hal
ini ditandai dengan banyaknya kasus kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh
makanan (foodborne disease),
contohnya diare akut. Foodborne disease
adalah penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang
tercemar. Timbulnya penyakit yang disebabkan oleh makanan, tidak lain karena
sumber makanan itu sendiri terkontaminasi atau tercemar oleh mikroorganisme
atau mikroba patogen. Selain itu, zat kimia beracun, atau zat berbahaya
lain dapat menyebabkan foodborne
disease jika zat-zat tersebut terdapat dalam makanan. Makanan yang
berasal baik dari hewan maupun tumbuhan dapat berperan sebagai media pembawa
mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia.1
Sumber pangan hewani yang
relatif murah dan mudah dalam mendapatkannya adalah unggas. Produk unggas
antara lain telur dan daging mentah sering menyebabkan foodborne disease atau keracunan makanan jika terkontaminasi
bakteri dan dikonsumsi oleh manusia. Bakteri patogen yang biasanya
mengkontaminasi telur dan daging unggas adalah Salmonella enteritidis. Selain telur dan daging unggas, Salmonella enteritidis juga dapat
mengkontaminasi daging sapi, susu dan olahannya (keju, eskrim, mentega,
mayonnaise, dll.) serta ikan dan olahannya. Berbagai macam makanan yang
beresiko terhadap kontaminasi bakteri, terutama kontaminasi Salmonella enteritidis harus sangat
diperhatikan dalam cara pengolahan makananannya. Pengolahan makanan yang tidak
benar, akan menyebabkan resiko terkontaminasi tersebut semakin besar. Jika
kontaminasi tidak dapat dicegah, resiko kesakitan dan kematian akibat makanan
akan semakin tinggi.
Dalam makalah ini, kami
ingin menjelaskan tentang Salmonella
enteritidis penyebab terjadinya foodborne
disease. Dengan adanya makalah ini, diharapkan pengetahuan tentang
kontaminasi bakteri pada makanan penyebab infeksi manusia semakin meningkat
sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Sehingga berbagai masalah
kesehatan yang berkaitan dengan foodborne
disease dapat berkurang dan mutu pangan yang ada di sekitar kita akan
semakin meningkat.
BAB II
ISI
A. DEFINISI SALMONELLA ENTERITICA / ENTERITICA
SEROVER ( S. ENTERITIDIS) 3
Menurut Gianella (2001) menyatakan bahwa genus Salmonella
merupakan anggota famili Enterobacteriaceae yaitu bakteri yang
terdapat dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Salmonella memiliki
dua jenis spesies yaitu Salmonella enteritica dan Salmonella bongori.
Salmonella enteritica memiliki enam subspesies yaitu subspesies I :
subspesies enteritica; subspesies II : subspesies salamae;
subspesies IIIa : subspesies arizonae; subspesies IIIb : subspesies diarizonae;
subspesies IV : subspesies hautenae dan subspesies V: subspesies indica.
Pengelompokan subspesies dibedakan berdasarkan sifat sifat biokimianya.
Berdasarkan sifat-sifat biokimianya, S. Enteritidis merupakan subspesies
enteritica.
Berdasarkan struktur antigennya subspesies dibagi menjadi
serovar/serotipe. Untuk menuliskan nama serotipe, misalnya cara lama S. enteritidis
menjadi S. enteritica subspesies enteritica serotipe
Enteritidis menjadi Salmonella ser Enteritidis dan saat ini penulisannya
menjadi Salmonella Enteritidis (Murray 1991).
Salmonella diklasifikasikan
dalam group sesuai dengan klasifikasi Kaufman-White yang didasarkan pada
antigen badan somatik O (ohne) dan antigen flagel H (hauch).
Genus ini mempunyai struktur antigen yang tidak stabil dan dapat mengalami
perubahan sewaktu-waktu dan bakteri ini pada suatu saat dapat membentuk variasi
secara tiba-tiba (Kaufmann 1972). S. Enteritidis bersifat Gram negatif,
berbentuk batang pendek, tidak berspora dengan ukuran 0,7-1,5 x 2,0-5,0 mm,
umumnya bergerak dengan flagella peritrikus. S.
Enteritidis tidak memfermentasi laktosa dan sukrosa, akan tetapi membentuk asam
dan juga gas dari glukosa, maltosa, dan mannitol. S. Enteritidis memberi
reaksi positif terhadap sitrat, lisin, ornithin dekarboksilase, serta memberi
reaksi negatif pada indol dan urease. Karakteristik lainnya yaitu dapat mereduksi
nitrat menjadi nitrit, dapat memfermentasi dulsitol, memproduksi H2S, dan
tumbuh secara optimal pada suhu 37 oC (Cox et al. 2000).3
Gambar
1 Bakteri Salmonella Enteritidis (Cox et al. 2000)3
B. HABITAT
DAN DISTRIBUSI S. ENTERITIDIS3
S. enteritidis adalah
salah satu genus bakteri dari famili Enterobacteriaceae, bersifat Gram negatif,
berbentuk batang dan tidak berspora, motil dengan flagella peritrikus, bersifat
fakultatif anaerobik, katalase positif, oksidase negatif, mampu memfermentasi karbohidrat
dengan menghasilkan asam dan gas serta dapat menggunakan sitrat sebagai sumber
karbon. Bakteri ini dapat tumbuh optimum pada suhu 35-37oC dan pH 6,5-7,5.
Berdasarkan
skema Kauffman-White, S. enteritidis termasuk dalam grup D Salmonella
dengan struktur antigeniknya adalah O:1,9,12 dan H:g,m;1,7
(SERBENIUK, 2002; SUPARDI dan SUKAMTO, 1999).
Habitat utama S. enteritidis berada dalam saluran
pencernaan hewan berdarah panas (PORTILLO, 2000). Bakteri ini juga dapat ditemukan
pada feses maupun dari lingkungan, seperti: air, tanah, tanaman, debu, dapur
atau
kantor.
Pangan asal ternak yang sering terkontaminasi S. enteritidis adalah
telur dan olahannya, daging ayam, daging sapi, susu dan olahannya seperti es
krim dan keju, ikan dan olahannya udang, kacang-kacangan, saus, salad, kue,
mentega, mayonnaise maupun coklat. (DUGUID dan NORTH, 1991; SUPARDI dan
SUKAMTO, 1999 ).
S. enteritidis dikenal
sebagai patogen yang penting baik pada unggas maupun manusia. Phenomena
keracunan makanan pada manusia berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah ayam
dan telur ayam yang terkontaminasi oleh serotipe S. enteritidis (THORNS et
al., 1996). Dilaporkan terdapat 3 macam serotipe S. enteritidis yang
berkaitan dengan egg-borne disease outbreak yang terjadi di
negara-negara Eropa, Amerika, dan Inggris. Wabah salmonellosis pada
manusia tersebut disebabkan oleh S. enteritidis phage tipe 4, 8 dan 23
(DHILLON et al., 1999; FANTASIA dan FILETICI, 1994; HICKMAN-BRENNER et
al., 1991). Dari beberapa kasus salmonellosis diketahui bahwa S.
enteritidis phage tipe 4 merupakan serotipe yang paling pathogen terhadap
ayam terutama ayam petelur (ALISANTOSA et al., 2000; GAST dan BENSON,
1995).
Strain S. enteritidis phage tipe 4 selain ditemukan pada kelompok induk
petelur dan bibit ayam petelur juga dapat diisolasi dari ayam pedaging dan
bibit ayam pedaging (BARROW, 1993; DHILLON et al., 1999; DUGUID dan
NORTH, 1991; GAST, 1997; LISTER, 1988). Di Indonesia, S. enteritidis phage
tipe 4 awalnya ditemukan dari ayam umur satu hari atau day old chick (DOC)
yang ternyata berasal dari peternakan pembibitan parent stock maupun grand
parent (POERNOMO, 2000).
C.
PENYEBARAN S. ENTERITIDIS3
Salmonellosis merupakan foodborne disease kedua
yang paling umum dilaporkan di dunia (ARS, 2001). Di Eropa, wabah salmonellosis
telah dilaporkan sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Pada tahun 1980-an
terjadi peningkatan yang nyata wabah S. enteritidis di beberapa
negara di Eropa. Pada umumnya penyakit ini bersifat epidemik yang
terjadi secara bersamaan di beberapa bagian dunia. Selama tahun
1990 penyakit terus menyebar sampai negara-negara berkembang dan mencapai
puncaknya pada tahun 1992. Setelah tahun 1992 wabah S. enteritidis di
beberapa negara terlihat mulai menurun, berhubungan dengan
implementasi kontrol terhadap infeksi Salmonella di peternakan yang
lebih baik serta perhatian masyarakat yang lebih besar terhadap resiko
yang timbul (SCHLUNDT et al., 2004).
Di Indonesia, S. enteritidis ditemukan pertama
kali pada tahun 1991 dari ayam yang diperoleh dari Rumah Potong Ayam di
Jakarta. Pada pertengahan tahun 1994 infeksi S. enteritidis pada
ayam yang terjadi secara sporadis mulai sering dilaporkan (POERNOMO et al.,
1997). Dalam kurun waktu 1989-1996 di laboratorium Balai Penelitian Veteriner (Balitvet)
telah berhasil mengisolasi S.
enteritidis
sebanyak
87 isolat. Dalam periode tahun 1996-1999 jumlahnya meningkat menjadi 259 isolat
(POERNOMO dan BAHRI, 1997; SOEDARMONO et al., 2001).
Dalam periode tahun 1999-2003 S. enteritidis diisolasi
sebanyak 305 isolat (POERNOMO, 2004). Dari 53 isolat S. enteritidis telah
dilakukan phage typing, diketahui bahwa 2 isolat termasuk phage
tipe 2 dan 46 isolat adalah phage tipe 4. Lima isolat berikutnya belum
diketahui phage tipenya. S. enteritidis yang ditemukan di Indonesia
kemungkinan besar berasal dari negara Eropa karena isolat tersebut ditemukan bersamaan
dengan masuknya bibit ayam petelur maupun bibit ayam pedaging dari luar negeri
dan phage tipe yang ditemukan sama yaitu phage tipe 4 (POERNOMO, 2000).
Isolat-isolat S. enteritidis yang telah diisolasi
di Balitvet berasal dari ayam, telur ayam, bulu ayam, litter paper box, daging
ayam, pakan ayam, karkas ayam, embrio ayam, air lingkungan peternakan, dari
hewan lain seperti tikus, kucing, burung bayan, burung makao, dan juga dari
manusia. Wilayah penyebaran bakteri S. enteritidis tersebut meliputi DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Pulau Bulan dan Sumatera Utara (POERNOMO, 2004).
Infeksi
S. enteritidis pada ternak dan kontaminasi vertical-horizontal
Kontaminasi vertikal dikenal juga sebagai kontaminasi
transovarial (transovarial contaminated). Teori penularan vertikal
menyebutkan bahwa S. Enteritidis pada telur ayam, berasal dari induk
ayam yang terinfeksi (Cox et al. 2000). Penelitian yang dilakukan dengan
menggunakan ayam yang sedang bertelur dan diinfeksi dengan S.
Enteritidis, ternyata mengakibatkan telur-telur tersebut terinfeksi dengan
strain S. Enteritidis yang sama (FSIS dan FDA 1998). S.
Enteritidis dapat menginfeksi telur yang berasal dari induk ayam yang sehat
dimana kontaminasi terjadi sebelum kulit telur terbentuk, letak infeksi biasanya
di putih telur dekat membran kuning telur (CDC 2003). FSIS dan FDA (1998) telah
melakukan survei mengenai keberadaan S. Enteritidis di telur. Hasil
survey membuktikan adanya S. Enteritidis di kerabang, kuning dan putih
telur. Selain telur, FSIS dan FDA (1998) melakukan survei tentang keberadaan S.
Enteritidis di tubuh ayam petelur. Hasil dari survei tersebut ditemukan S.
Enteritidis di organ usus buntu, hati, ginjal, indung telur dan saluran indung
telur.4
Kontaminasi S. Enteritidis pada kerabang telur
ayam secara horizontal, diakibatkan oleh infeksi dari saluran reproduksi induk
ayam bagian bawah dan/atau kontaminasi feses dari induk ayam saat pengeraman.
Kontaminasi ini
difasilitasi
dengan kondisi kerabang-kerabang telur yang lembab, penyimpanan
pada
suhu tinggi dan kerusakan kerabang telur. Kontaminasi pada kerabang telur, tidak
hanya meningkatkan resiko terjadinya kontaminasi pada isi telur, tetapi juga meningkatkan
resiko terjadinya kontaminasi silang pada telur disekitarnya dan produk-produk
berbahan telur lainnya. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya penetrasi dan
multiplikasi S. Enteritidis diantara telur-telur ayam. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penetrasi S. Enteritidis di antara telur-telur tersebut,
yaitu: kualitas kerabang telur, banyaknya pori-pori pada kerabang telur,
temperatur, kelembaban dan tekanan uap. Penetrasi pada isi telur meningkat
dengan lamanya kontak dengan bahan-bahan yang terkontaminasi, khususnya selama penyimpanan
dan kelembaban pada temperatur tinggi (FSIS dan FDA 1998; Cox et al.
2000) .4
Infeksi S.
enteritidis pada induk petelur diawali dengan tertelannya bakteri melalui
pakan atau air minum. Selanjutnya bakteri tersebut masuk dan memperbanyak diri
dalam saluran pencernaan maupun peritoneum (ALISANTOSA et al., 2000; SHIVAPRASAD
et al.; 1990). Bakteri kemudian akan menembus dinding usus sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi, selanjutnya dapat menembus mukosa masuk ke dalam
sistem pertahanan limfatik dan dapat mencapai saluran darah sehingga dapat
menyebabkan bakteremia atau abses (SUPARDI dan SUKAMTO, 1999).
Selanjutnya bakteri tersebut akan menyebar ke organ lain
seperti organ reproduksi (ovarium dan oviduk). Diduga transpor bakteri tersebut
diperantarai oleh makrofag yang terdapat pada saluran pencernaan. Infeksi S.
enteritidis pada ovarium induk ayam petelur dapat menyebabkan penularan S.
enteritidis secara vertikal (infeksi transovarial) ke telurtelur ayam yang
dihasilkan sehingga anak-anak ayam yang ditetaskan dapat bertindak sebagai pembawa
atau karier S. enteritidis. Anak ayam tersebut akan tumbuh dan
berkembang menjadi dara atau induk dewasa yang dapat menyebabkan kontaminasi
telur selanjutnya (HARA-KUDO et al., 2001; THIAGARAJAN et al.,
1994; WANG dan SLAVIK, 1998).
Infeksi transovarial terjadi melalui kontak langsung S.
enteritidis pada kuning telur atau albumin selama proses pembentukan
telur (oviposition) yaitu selama perjalanan sel telur dari ovarium menuju
infundibulum dan oviduk, sebelum telur tertutup kerabang dan sebelum
terlindungi oleh antibacterial albumin (DUGUID dan NORTH, 1991; MIYAMOTO et
al., 1998). Penularan secara vertikal ini juga disebutkan sebagai kontaminasi
internal pada telur (HARAKUDO et al., 2001; WANG dan SLAVIK, 1998).3
Penyebaran
S. enteritidis secara kontak langsung dan tidak langsung3
S. enteritidis yang
telah memperbanyak diri dalam saluran pencernaan selanjutnya akan diekskresikan
melalui feses dan dapat menyebabkan penularan bakteri tersebut secara horizontal
ke dalam telur dengan cara menempel pada permukaan kerabang telur (THIAGARAJAN et
al., 1994). Selanjutnya bakteri akan mengadakan penetrasi ke dalam telur
dan mencemari bagian dalam telur (kuning telur dan albumin) melalui pori-pori kerabang
telur yang tidak tertutup oleh cuticle (kulit ari atau selaput luar
kerabang telur). Cuticle ini berperan sebagai selaput yang menghalangi
penetrasi bakteri ke dalam telur dengan cara menurunkan permeabilitas kerabang
telur sehingga pori-pori kerabang menjadi tertutup. Membran atau selaput bagian
luar dan dalam pada permukaan kerabang juga berperan penting sebagai barrier
perlindungan telur. Pada selaput bagian dalam lebih banyak berperan karena tersusun
oleh protein dan mengandung sangat banyak lysozime yang dapat mencegah
infeksi bakterial (WANG dan SLAVIK, 1998). Penularan secara horizontal ini juga
disebut kontaminasi eksternal pada telur (HARA-KUDO et al., 2001; WANG
dan SLAVIK, 1998).
Kontaminasi S. enteritidis pada makanan dapat
diperantarai oleh vector mekanik dan biologik seperti rodensia, burung-burung
liar, lalat, kecoa, kumbang, kutu, parasit maupun manusia. Pupuk dilaporkan
dapat sebagai sarana kontaminasi S. enteritidis di peternakan. Keberadaan
S. enteritidis juga dapat ditemukan di tanah, air, udara, kayu, debu,
feses dan tanaman seperti buah-buahan dan sayuran (GAST, 1997; SCHLUNDT et
al., 2004; SERBENIUK, 2002; WARD et al., 2003). HOLT et al. (1998)
menyampaikan bahwa beberapa faktor predisposisi seperti adanya mikotoksin,
perubahan komposisi pakan yang diberikan, stress dan molting pada induk
ayam dapat meningkatkan keparahan infeksi Salmonella yang ditularkan
melalui transmisi horizontal.
D. PENCEMARAN
S. ENTERITIDIS PADA PRODUK PANGAN ASAL TERNAK3
Bahan pangan asal hewan terutama unggas, produk unggas
berupa daging dan telur mentah sering ditemukan pada kasus sporadik dan wabah salmonellosis
pada manusia (SCHLUNDT et al., 2004; DILLON et al., 1999). Salmonella
mungkin terdapat pada makanan dalam jumlah tinggi tetapi tidak selalu
menimbulkan perubahan dalam hal warna, bau maupun rasa dari makanan tersebut. Pada
umumnya semakin tinggi jumlah Salmonella dalam suatu makanan semakin besar
timbulnya gejala infeksi pada manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut dan semakin
cepat timbulnya gejala klinis (SUPARDI dan SUKAMTO, 1999).
VOUGHT dan TATINI (1998) mengemukakan bahwa wabah
salmonellosis di Inggris telah terjadi pada orang dewasa akibat mengkonsumsi es
krim yang terkontaminasi S. enteritidis sebanyak ≥ 107 CFU. Pada
orang dewasa yang mengkonsumsi makanan terkontaminasi bakteri tersebut sebanyak
105- 106 CFU dilaporkan tidak menunjukkan gejala klinis penyakit. Namun
beberapa penelitian menyatakan bahwa sejumlah kecil S. enteritidis dalam
makanan (≤105
CFU) telah dapat menyebabkan infeksi. Hal ini dapat terjadi karena produk
makanan tersebut mengandung banyak lipid dan atau gula yang dapat melindungi Salmonella
dari barrier lambung yang bersifat asam sehingga bakteri tersebut dapat
mencapai usus halus dan menimbulkan gejala penyakit.
Pencemaran
S. enteritidis pada telur3
Telur merupakan salah satu sumber nutrisi yang bergizi
tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Namun
akhir akhir ini telur telah banyak dilaporkan sebagai sumber infeksi S.
enteritidis pada manusia (WANG dan SLAVIK, 1998). Bakteri S. enteritidis
dalam jumlah besar yang terdapat di dalam telur lebih sering sebagai penyebab
penyakit (CDC, 2001). Di beberapa negara di Eropa dan Amerika wabah
salmonellosis berasal dari makanan yang mengandung telur dengan kualitas
terbaik (grade A) yang terkontaminasi secara vertical (THIAGARAJAN et al.,
1994; TIMONEY et al., 1989).
Lebih dari 44% wabah salmonellosis yang terjadi di dunia
melibatkan konsumsi telur, produk asal telur yang terkontaminasi akibat
kontaminasi pada saat telur diinkubasi selama pengeraman dan cara memasak telur
yang kurang sempurna seperti dimasak setengah matang atau dikonsumsi masih
mentah. Telur-telur yang telah dibekukan atau dikeringkan, telur-telur utuh
yang tidak disimpan dalam refrigerator baik selama di retailer, di rumahrumah
atau pada usaha katering juga dapat mengkontaminasi makanan. (BARROW, 1993;
CDC, 2001; LILLEHOJ, 2000; SUPARDI danSUKAMTO, 1999; WHO, 2002). 129
Pencemaran
S. enteritidis pada produk daging ayam3
Kontaminasi pada ternak unggas dapat terjadi sebelum
disembelih yaitu akibat kontaminasi horizontal eksternal pada telurtelur saat
pengeraman telur ayam pedaging sehingga akan dihasilkan daging ayam yang
terkontaminasi oleh S. enteritidis, selama penyembelihan, selama atau
setelah pengolahan (GAST, 1997; SUPARDI dan SUKAMTO, 1999). COOPER (1994) mengemukakan
bahwa proses produksi di rumah pemotongan ayam tidak dapat menjamin produk
akhir produksi tersebut bebas S. enteritidis.
Tingkat prevalensi kontaminasi pada daging beku di UK
sebesar 80% sedang di USA sebesar 50% pada daging ayam mentah. Tingkat
kontaminasi S.enteritidis pada daging ayam segar tampaknya rendah yaitu
17 CFU/ 100 gram kulit ayam adan maksimum 1,4 x 103 CFU/gram makanan (COOPER, 1994).
Pertumbuhan S. enteritidis pada daging ayam diduga
juga dapat terjadi pada saat disimpan di retailer, saat transportasi,
penyimpanan di dapur-dapur, pemanasan saat memasak yang kurang sempurna
sehingga bakteri tersebut masih dapat hidup (WHO, 2002). Daging ayam yang
tercemar S. enteritidis selain sebagai penyebab wabah salmonellosis
karena mengkonsumsinya juga berpotensi sebagai sumber kontaminasi silang
terhadap makanan lain dan menyebabkan wabah selanjutnya. Namun kontaminasi
silang ini sulit dideteksi. Pada beberapa kejadian mungkin tidak diketahui dan
tidak dilaporkan (DUGUID dan NORTH, 1991).
Pada umumnya faktor utama kontaminasi silang terjadi pada
saat menyiapkan, mengolah dan memasak makanan di dapur. Kontaminasi terjadi melalui
kontak langsung dengan daging ayam atau perkakas dapur yang tercemar S. enteritidis
atau tangan yang tidak dicuci bersih. Kontaminasi silang ini sering
ditemukan di dapur-dapur rumah makan, hotel, rumah sakit atau pengusaha
katering (DUGUID dan NORTH, 1991; CDC, 2001). Terjadinya kontaminasi silang
juga dipengaruhi oleh beberapa factor seperti water availability (Aw),
pH, packaging athmosphere, kompetitif dengan mikroflora lain
dalam usus dan waktu penyimpanan (COOPER, 1994).
E.
GEJALA KLINIS AKIBAT INFEKSI
S. ENTERITIDIS3
Gejala klinis pada salmonellosis tergantung pada sifat
virulensi dan invasi bakteri, jumlah bakteri yang teringesti, daya tahan tubuh
hospes yang dipengaruhi oleh umur dan kesehatan penderita (SUPARDI dan SUKAMTO,
1999).
Ayam semua umur dapat terserang S. enteritidis namun
yang paling rentan adalah DOC. Anak ayam umur 1 hari lebih rentan terhadap
infeksi S. enteritidis dari anak ayam umur 7 hari atau 4 minggu.
Kadang-kadang infeksi tersebut menyebabkan timbulnya penyakit dan
kematian yang sangat tinggi pada anak ayam umur kurang dari 1 minggu (ALISANTOSA
et al., 2000; DHILLON et al., 1999; LISTER, 1988).
Pada anak ayam yang mati, pada bagian mukosa
intestinalnya terlihat lesi foki nekrotik, sekum berkeju, limpa dan hati
bengkak, kemerahan, terdapat foci nekrotik, ginjal membesar dan kongesti. Perihepatitis
fibrinopurulen dan perikarditis. Lesi lain kadang-kadang diamati adanya panofthalmitis,
arthritis purulen, airsacculitis dan omfalitis. Anak ayam umur 24 jam
yang terinfeksi melalui kontak horizontal dapat mensekresikan S. enteritidis
sampai umur 28 minggu (GAST, 1997).
Infeksi S. enteritidis pada ternak atau pada ayam
umur lebih dari 2 minggu biasanya tidak menimbulkan gejala klinis dan tidak
mematikan, tetapi ayam yang sembuh dari infeksi dapat menjadi karier menahun yang
sewaktu waktu dapat mengekskresikan bakteri S. enteritidis pada
fesesnya. Kadang kadang pada ternak atau inang spesifik, salmonellosis dapat
menimbulkan gejala klinis enteritis. Manifestasi gejala klinis tersebut dapat
berupa septikemia, enterokolitis, anoreksia, diare profus dan kadang-kadang
meningitis, pneumonia, dan encephalitis (GAST, 1997; POERNOMO et al.,
1997).
Patogenesis Salmonellosis
Manusia yang terinfeksi oleh bakteri S. enteritidis
biasanya bersifat khas dengan masa inkubasi antara 5-72 jam tetapi gejala umumnya
terjadi dalam waktu 12-36 jam setelah menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi.
Diawali dengan diare, dehidrasi, sakit perut, mual-mual, dan muntah. Kadang-kadang
demam ringan. Umumnya gejala berlangsung selama 2-7 hari seringkali penderita
sembuh tanpa pengobatan antibiotika. Salmonella umumnya diekskresi dalam
jumlah besar dalam feses pada awal terjadinya keracunan. Selanjutnya jumlah Salmonella
yang diekskresi menurun dan status karier pada infeksi ini umumnya jarang
terjadi dibandingkan dengan infeksi oleh S. typhi. Namun pada usia yang
lebih muda, bayi, orang-orang tua dan orang orang dengan sistem imun lemah,
penyakit ini dapat menjadi parah. Pada pasien ini, infeksi dapat meluas dari
usus ke sirkulasi darah dan menyebar ke bagian tubuh lain dan dapat menyebabkan
kematian jika tidak diobati dengan antibiotic yang tepat (CDC, 2001; GAST,
1997; GRAU, 1989).3
S. Enteritidis tidak
mempengaruhi kualitas suatu makanan, serta tidak menimbulkan kerusakan dan
pembusukan pada telur. Namun apabila manusia memakan telur yang terkontaminasi dan
tidak dimasak sempurna atau setengah matang, maka akan mengakibatkan penyakit
pada manusia (CDC 2003). Salmonellosis menyebabkan berbagai gejala
seperti gastroenteritis,
demam
enterik, septikemia dan infeksi fokal. Salah satu gejala yang ditimbulkan oleh
infeksi S. Enteritidis adalah gastroenteritis. Patogenesis ini sangat tergantung
dari faktor virulensi bakteri yaitu: (1) kemampuan invasi sel, (2) lapisan lipopolisakarida
yang lengkap, (3) kemampuan replikasi intrasel, dan (4)
kemungkinan
perbanyakan toksin. Setelah bakteri dicerna, organisme tersebut berkoloni di
ileum dan kolon, memasuki epitel usus dan terjadi proliferasi epitel dan
folikel limfoid (Gianella 2001).4
Tahap selanjutnya yaitu menginduksi membran enterosit
yang terganggu
dan
menstimulasi pinositosis organisme. Invasi tergantung dari pengaturan sel
sitoskeleton
dan kemungkinan melibatkan peningkatan fosfat inositol dan kalsium sel.
Perlekatan dan invasi tersebut di bawah regulasi genetik dan melibatkan gen-gen
ganda pada kromosom plasmid. Selanjutnya, patogenesis enterokolitis dan diare
akibat salmonellosis dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.
Setelah menginvasi epitel usus, bakteri ini menginduksi
respon inflamasi yang dapat menyebabkan ulserasi dan peningkatan sitokin
sehingga menghambat sintesis protein. Mekanisme tersebut belum diketahui secara
pasti. Namun, invasi pada mukosa menyebabkan sel epitel mensintesis dan
melepaskan berbagai sitokin proinflamasi, seperti IL-1, IL-6, IL8, TNF2. Hal
ini membangkitkan respon inflamasi akut dan juga meningkatkan terjadinya
kerusakan usus karena reaksi inflamasi usus. Akibat reaksi tersebut, dapat
terjadi gejala panas-dingin, nyeri perut, lekositosis dan diare. Feses dapat mengandung
lekosit polimorfonuklear (PMN), darah dan lendir. Patogenesis munculnya diare
secara ringkas dapat dilihat pada gambar 5.
Invasi mukosa usus diikuti aktivasi adenylate cyclase dan
peningkatan keseimbangan sekresi siklik AMP (c-AMP). Mekanisme tersebut juga
belum diketahui dengan pasti, kemungkinaan adanya keterlibatan produksi lokal
dari prostaglandin atau komponen lain dari prostaglandin akibat reaksi
inflamasi. Strain-strain Salmonella mengeluarkan satu atau lebih
substansi enterotoksin yang menstimulasi sekresi usus, namun peran toksin
tersebut pada pathogenesis S. Enteritidis masih belum pasti. Orang
dewasa dan anak-anak yang berisiko untuk terinfeksi S. Enteritidis dari
telur adalah wanita hamil dan orang-orang dengan sistem imun yang lemah, meningkatkan
risiko timbulnya penyakit yang lebih serius. Pada orang-orang ini, bakteri
dengan jumlah yang relatif kecil sudah dapat mengakibatkan penyakit (WHO 2005;
Berkeley 2002).4
Penderita yang terinfeksi S. Enteritidis
menimbulkan gejala berupa diare, demam, kedinginan, nyeri perut, nyeri kepala,
yang dimulai 12 sampai 72 jam
setelah
mengkonsumsi telur mentah atau setengah matang yang telah terkontaminasi
(Blumenthal 2002). Penyakit tersebut dapat bertahan sampai 4- 7 hari. Meskipun
banyak penderita dapat sembuh sempurna tanpa pemberian antibiotika. Namun,
diare dapat berlebihan dan memerlukan perawatan rumah
sakit
(FSIS & FDA 1998; Hecht 2004). Pada penderita dengan risiko tinggi, infeksi
dapat menyebar dari usus ke aliran darah atau ke tempat lain di seluruh tubuh
dan dapat menyebabkan kematian tanpa pengobatan antibiotika pada penderita (CDC
2003).4
F.
DETEKSI S. ENTERITIDIS PADA TERNAK
DAN PRODUKNYA3
Diagnosa salmonellosis dilakukan berdasarkan pada sejarah
penyakit, gejala klinis atau kelainan pascamati dan pemeriksaan laboratorium
dengan cara mengadakan isolasi dan identifikasi S. enteritidis baik
secara biokemik maupun serotiping. Pemeriksaan sampel yang berupa bahan makanan
yang diberikan, air minum, dan bahan lain seperti sampel muntahan, feses atau darah,
perlu dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya Salmonella (DHARMOJONO,
2001; POERNOMO, 2004).
Isolasi dan identifikasi Salmonella dalam bahan
pangan dengan menggunakan metode konvensional memerlukan waktu selama 7 hari
untuk hasil positif sedangkan apabila hasil negatif diperlukan waktu sekitar
3-4 hari. Selain itu diperlukan banyak bahan media. alat, biaya dan tenaga.
Akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan beberapa metode deteksi cepat terhadap
Salmonella seperti enzyme-linked immunosorbent assays (ELISAs),
metode immunodifusi, metode hibridisasi asam nukleat maupun polymerase chain
reaction (PCR) (YEH et al., 2002; DE PAULA et al., 2002). Beberapa
keunggulan metode deteksi cepat tersebut adalah waktu pemeriksaan yang lebih cepat,
hasil pemeriksaan yang lebih tepat, lebih sensitive dan lebih spesifik
dibandingkan dengan metode konvensional (FENG, 2001).
Program monitoring dan surveilan residu dan cemaran
mikroba bertujuan untuk memperoleh gambaran tingkat kandungan residu dan cemaran
mikroba pada bahan pangan asal hewan yang beredar di Indonesia serta member perlindungan
pada masyarakat konsumen melalui bahan pangan asal hewan yang tidak mengandung
cemaran mikroba atau residu yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Cara
pengawasan residu dan cemaran mikroba meliputi pemantauan (monitoring)
di seluruh mata rantai produksi, pangamatan (surveillance) terhadap
suatu masalah residu dalam bahan pangan asal hewan dan dampaknya pada kesehatan
manusia dan pemeriksaan (inspection) residu dan cemaran mikroba pada
bahan pangan asal hewan di laboratorium penguji yang berwenang (MOERAD, 2003).
Pengembangan Sistem Jaringan Kerja Pengawas Kesmavet
merupakan pengawasan penanganan kesehatan daging, susu dan telur. Pengawasan penanganan
kesehatan daging berupa pemulihan kondisi hewan, pemeriksaan antemortum, proses
penyembelihan, pemeriksaan post mortum, pelayuan daging, pengangkutan,
peredaran dan pengolahan. Pengawasan penanganan kesehatan susu meliputi
kesehatan ternak, higiene sanitasi lingkungan peternakan atau tempat pemerahan
susu atau KUD, penanganan dan penyimpanan. Sedang pengawasan penanganan
kesehatan telur adalah kegiatan pengawasan terhadap kesehatan unggas,
lingkungan dan kandang, pengemasan, pengangkutan. Adapun kelembagaan yang
terlibat adalah Pemerintah Pusat, Dinas Daerah dan Laboratorium (MOERAD, 2003).
Pengawasan Salmonella di peternakan melibatkan
pentingnya sanitasi dan higienik terhadap kandang, peralatan dan lingkungan
peternakan serta fumigasi penetasan telur ayam untuk mengurangi keberadaan
bakteri pathogen dalam pengeraman di peternakan. Meningkatkan pengetahuan dan
kepedulian masyarakat terhadap resiko yang timbul (BARROW, 1993; OIE, 2000; SCHLUNDT
et al., 2001;). Pemberantasan vektor (burung-burung liar, rodentia dan
serangga) di sekitar peternakan. Diadakan rotasi tempat penggembalaan. Usaha
ini dilakukan untuk mencegah penularan Salmonella secara horizontal (DHARMOJONO,
2001).
Vaksinasi terhadap S. enteritidis di Indonesia
tidak direkomendasikan. (Antibodi yang terbentuk karena vaksinasi dapat
“mengacaukan” pemeriksaan Pullorum test yang rutin dilakukan akibat adanya
reaksi silang antara Salmonella spp. yang terdapat dalam Grup D). Hal
ini juga karena sistem proteksi humoral yang tidak bagus, karena yang bekerja Cell
Mediated Immunity (CMI) (ARIYANTI et al., 2004). Usaha lain yang
dapat dilakukan untuk mengurangi kontaminasi S. enteritidis pada bahan
pangan asal ternak antara lain menyimpan telur ayam dalam refrigerator sampai
akan digunakan, yang sebelumnya telur ayam dicuci dengan bersih menggunakan air
hangat suhu 65,5 oC selama 3 menit atau dengan larutan deterjen pada suhu 45 oC
(SUPARDI dan SUKAMTO, 1999).
Telur-telur yang retak dan kotor karena feses sebaiknya
dibuang, menyimpan telur-telur pada temperatur yang panas (40-140)oC selama
lebih dari 2 jam tidak dianjurkan, menghindari makan telur mentah (minuman yang
dicampur dengan telur atau jamu, bahan dalam pembuatan es krim) atau telur
setengah matang, menghindari restoran yang menyediakan makanan dari telur-telur
mentah yang tidak dimasak dengan matang dan tidak dipasteurisasi (CDC, 2001).
Menghindari minum susu yang tidak dipasteurisasi. Memasak dengan sempurna semua
produk ternak seperti daging, telur, susu, ikan dan produk olahannya. Mencuci
tangan sebelum dan sesudah memegang daging dan telur mentah. Menggunakan
alat-alat memasak yang telah dicuci bersih (DUGUID dan NORTH, 1991; SCHLUNDT et
al., 2004; SERBENIUK, 2002).
Penyimpanan telur dalam suhu rendah sangat penting untuk
mencegah pertumbuhan kontaminan S. enteritidis dalam telur (HARAKUDO et
al., 2001). HUMPREY (1990) menyatakan bahwa S. enteritidis tidak
dapat tumbuh dan berkembang dalam kuning telur yang telah diinokulasi yang
disimpan pada suhu 4oC dan 8oC. Pada temperatur 10oC S. enteritidis tumbuh
lambat tetapi bakteri tersebut tumbuh relatif cepat dalam waktu yang pendek
apabila disimpan pada temperature 12oC. Menurut GAST dan BEARD dalam HARAKUDO et
al. (2001) melaporkan bahwa jumlah S. enteritidis pada telur-telur
yang terkontaminasi secara alam meningkat apabila disimpan pada suhu 25oC
selama 7 hari namun tingkat kontaminasi tidak berubah apabila
disimpan pada suhu 7oC selama 7 hari. Pemanasan merupakan
cara yang paling banyak dilakukan untuk membunuh Salmonella (SUPARDI dan
SUKAMTO, 1999). Bakteri Salmonella akan mati dalam pemanasan 60oC selama
beberapa menit dalam larutan telur namun temperatur tersebut tidak membunuh
bakteri dalam telur ayam karena panas tersebut lambat menembus masuk ke dalam
isi telur ayam yang mengandung masa yang kental. Pada telur ayam terinfeksi
yang direbus dengan temperatur 100oC dapat membunuh Salmonella pada
kerabang telur, tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa cara tersebut
menghasilkan putih telur yang matang tetapi sebagian kuning telur masih setengah
matang/lunak sehingga tidak membunuh bakteri dalam kuning telur. S. enteritidis
masih dapat ditemukan pada kuning telur yang direbus atau dikeringkan
selama 4 menit, tetapi bakteri tersebut tidak dapat diisolasi dari telur ayam
terinfeksi yang direbus atau dikeringkan selama 8 menit (DUGUID dan NORTH,
1991).
Pemanasan yang direkomendasikan untuk membunuh Salmonella
di dalam makanan umumnya adalah selama paling sedikit 12 menit pada suhu
66oC atau 78-83 menit pada suhu 60oC. Perlakuan lain yang dapat membunuh Salmonella
adalah dengan asam asetat, H2O2, radiasi ionisasi, radiasi ultraviolet,
pemanasan dengan oven mikrowave (GAST, 1997; SUPARDI dan SUKAMTO, 1999).
Penggunaan antibiotika untuk pengobatan salmonellosis prapanen3
Meskipun pengobatan sering diberikan untuk mencegah
infeksi Salmonella tetapi tidak efektif, karena tidak memberikan hasil
yang memuaskan (GAST, 1997). Pengobatan dengan antibiotika secara klinik
mungkin dapat menyembuhkan atau efektif dalam menekan jumlah kematian sel
bakteri tetapi tidak menghilangkan infeksi atau mengeliminasi penyakit dari
peternakan (DHARMOJONO, 2001; POERNOMO, 2004). Pemberian antibiotika tersebut
dilaporkan dapat menyebabkan perubahan kepekaan ayam terhadap infeksi Salmonella
dan dapat menimbulkan resistensi obat pada Salmonella (GAST, 1997;
BARROW, 2000).
Resistensi bakteri terhadap antibiotika dikendalikan oleh
adanya plasmid yang disebut faktor R atau akibat dari mutasi terjadinya
transfer kromosom melalui suatu plasmid F+. (SUPARDI dan SUKAMTO, 1999). Adanya
kontroversi dalam penggunaan antibiotika pada kasus-kasus salmonellosis pada
saluran pencernaan karena antibiotika peroral dapat merusak mikroflora usus.
Aplikasi antibiotika perlu dipertimbangkan dalam penentuan jenis antibiotika
karena Salmonella bersifat intraseluler, oleh karena itu sebaiknya memilih
obat yang dapat mengadakan penetrasi ke dalam sel. Dilihat dari aspek
bakteriologik Salmonella dalam alat pencernaan sulit dihilangkan karena
bakteri sudah berada dalam sirkulasi sistem empedu dan secara intermiten bakteri
akan masuk ke dalam lumen alat pencernaan bersama empedu tersebut dan diekskresikan
melalui feses yang dapat mencemari lingkungan dan dapat menginfeksi hewan lain
atau manusia, bahkan tidak jarang Salmonella bertahan hidup dalam
jaringan limphatik (DHARMOJONO, 2001).
G. CARA PENGENDALIAN
Cara pengendalian S. Enteritidis
Sumber utama terjadinya infeksi pada manusia adalah
peternakan. Mengurangi keberadaan S. Enteritidis pada hewan/ternak,
secara signifikan juga akan mengurangi paparan bakteri tersebut pada manusia.
Salah satu pengendalian yang penting adalah menjaga kebersihan peternakan.
Penelitian menunjukkan bahwa pembersihan secara intensif dan penggunaan
desinfektan dapat mengurangi keberadaan bakteri tersebut (Berkeley 2002). Telur
seperti juga daging, hasil ternak, susu dan bahan olahan lainnya akan aman bila
diolah dengan baik. Telur ayam akan aman bila disimpan dalam pendingin (refrigerator)
tersendiri dan dimasak serta dikonsumsi segeram (Blumenthal 2002).
Diperkirakan 100 sel S. Enteritidis pada 100 gram
telur, akan memudahkan timbulnya penyakit. Penyimpanan telur pada pendingin
secara adekuat dapat mencegah perbanyakan bakteri tersebut pada telur, sehingga
telur sebaiknya disimpan pada pendingin, sampai saat akan digunakan. Pemasakan
juga akan mengurangi jumlah bakteri yang ada pada telur, namun putih telur dan kuning
telur yang belum matang, akan berisiko lebih besar menimbulkan infeksi dibandingkan
dengan telur yang telah matang karena S. Enteritidis akan mati karena
pemanasan paling sedikit selama 12 menit pada suhu 66 oC atau 77-83 menit pada
suhu 60 oC (Blumenthal 2002; CDC 2003).
Untuk mengurangi risiko infeksi S. Enteritidis
pada telur yang akan dikonsumsi, dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
(1) simpan telur pada pendingin, (2) buang telur yang telah pecah atau kotor,
(3) cuci tangan dan rebus peralatan rumah tangga dengan sabun dan air setelah
kontak dengan telur mentah, (4) makan segera telur setelah dimasak dan jangan
menyimpan telur matang pada suhu kamar lebih dari 4 jam, (5) dinginkan telur
yang belum digunakan, (6) hindarkan makan telur mentah (seperti telur campuran
es krim produksi rumah tangga atau telur mentah yang dicampur dalam minuman)
dan (7) hindari memakan makanan restoran yang menggunakan bahan telur mentah
atau telur yang tidak dipasteurisasi (WHO 2002).
Amerika Serikat telah melakukan upaya pengendalian untuk
mengurangi
wabah
S. Enteritidis. CDC telah meminta departemen kesehatan, rumah sakit, dan
tempat-tempat perawatan untuk menggunakan peralatan spesifik dengan tujuan mengurangi
risiko infeksi. Beberapa negara bagian di sana diminta untuk
mendinginkan
telur-telur dari produsen sebelum sampai ke konsumen. Departemen Pertanian
Amerika Serikat menilai kelayakan peternakan yang memproduksi ayam petelur
untuk memastikan telah terbebas dari S. Enteritidis. Telur-telur yang
diketahui telah terkontaminasi dari peternakan, dilakukan pasteurisasi. USFDA
telah mengeluarkan petunjuk penanganan telur di pengecer makanan dan akan
memonitor ayam-ayam yang sedang bertelur (CDC 2003).4
Daftar
Pustaka
1. http://www.deptan.go.id/bbkptgpriok/admin/rb/foodborne.pdf
2.
anonim. 2004. Foodborne Disease. NSW Multicultural Health Communication Service.
Indonesia.
3.
Ariyanti, Tati dan Supar. Cemaran Salmonella Enteritidis pada Ternak
dan Produknya. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
4.
Satyaningsih,
Febya. 2007. Studi Salmonella Enteritidis
pada Telur Ayam Ras di Pasar Tradisional Kabupaten Tangerang (Tesis).
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor